Iklan

Universitas Pancasila Gelar FGD Soroti Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan

Jumat, Mei 09, 2025 WIB Last Updated 2025-05-09T02:52:24Z
Advertisement
Istimewa.

Jakarta, pelitatoday.com - Universitas Pancasila melalui Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum (PDIH FH) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kajian Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan: Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan", Rabu (7/5/2025). Kegiatan ini diadakan sebagai respons kritis atas terbitnya regulasi tersebut yang belakangan menjadi sorotan berbagai kalangan.


Sorotan datang mulai dari akademisi, organisasi masyarakat sipil, aktivis lingkungan, komunitas adat, hingga pelaku usaha di sektor sumber daya alam. Perpres ini, yang merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja khususnya pada klaster kehutanan, dinilai membawa semangat percepatan penyelesaian persoalan kawasan hutan.


Namun juga memunculkan kekhawatiran akan potensi pengabaian prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosial yang telah ditegaskan dalam konstitusi, UU Cipta Kerja, putusan Mahkamah Konstitusi, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


FGD ini diselenggarakan untuk menjawab kebutuhan akan kajian mendalam terhadap Perpres No. 5 Tahun 2025, terutama dalam menilai dampaknya terhadap hak-hak masyarakat di sekitar hutan.  


Selain itu juga kepastian hukum atas status kawasan hutan, perlindungan fungsi ekologis hutan, hingga potensi legalisasi pelanggaran kehutanan masa lalu.


"Pemerintah diharapkan dapat memastikan bahwa lahan yang dijadikan kawasan hutan benar-benar clear melalui pengukuhan yang tepat, demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat sekitar serta menjaga keberlanjutan ekosistem hutan Indonesia," kata  Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A


Menurut Eddy Pratomo, hal sangat penting mengingat Indonesia memiliki komitmen internasional untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% pada 2030, di mana perlindungan hutan menjadi salah satu pilar utama. 


FGD ini bertujuan untuk menganalisis Perpres No. 5 Tahun 2025 secara komprehensif dengan membandingkan ketentuannya terhadap UU No. 6 Tahun 2023, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 24 Tahun 2021, serta beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.


Selain itu, forum ini juga mengkaji dampak kebijakan penertiban kawasan hutan terhadap hak hak masyarakat dan kepastian hukum perizinan, serta memperkuat sinergi antarpemangku kepentingan agar pelaksanaan Perpres ini tetap memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi dalam tata kelola hutan dan lingkungan. Melalui paparan para ahli, diskusi interaktif, dan tanya jawab dengan peserta, FGD diharapkan menghasilkan pemetaan persoalan yang komprehensif serta rekomendasi strategis untuk memperkuat tata kelola kawasan hutan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.


Forum yang dihadir sejumlah narasumber lintas sektor yang memberikan perspektif multidisiplin, di antaranya Prof. Dr. Agus Surono, SH., MH. dari Universitas Pancasila yang membedah aspek hukum Perpres No. 5 Tahun 2025, Ardito Muwardi, S.H., M.Hum., Koordinator I Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung selaku Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang membahas implementasi dan langkah ke depan, Uli Arta Siagian dari WALHI yang menyoroti Perpres ini dari perspektif lingkungan, Dr. Sadino, S.H., M.H. dari Universitas Al Azhar Indonesia yang mengkaji perlindungan hak masyarakat dalam hukum kehutanan serta Setiyono, dari Asosiasi Perkebunan Rakyat Indonesia.


Pakar Hukum Kehutanan Dr. Sadino, S.H., M.H. dari Universitas Al Azhar Indonesia menekankan perlunya satu peta nasional sebagai referensi utama kebijakan lintas sektor. Tanpa satu peta yang disepakati bersama, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum, terutama terkait status kawasan hutan dan hak atas tanah.


“Contoh konkret, ada HGB yang dikeluarkan oleh ATR/BPN, tapi tidak diakui oleh Kementerian Kehutanan karena lahannya masuk dalam kawasan hutan versi mereka. Padahal, HGB itu produk negara juga. Ini kan kontradiktif,” ungkap Sadino.


Sadino mengingatkan bahwa jika peraturan terus berubah tanpa menyelesaikan akar persoalan, maka ketidakpastian hukum itu berdampak besar pada minat investasi dan semangat investasi, termasuk ekspansi usaha.


“Pelaku usaha kelelahan menghadapi pemeriksaan dan perubahan aturan yang terus menerus. Mereka akhirnya enggan untuk ekspansi karena tidak yakin lahannya aman secara hukum,” jelasnya.


Dengan adanya FGD ini Universitas Pancasila menegaskan komitmennya untuk mendorong reformulasi kebijakan kehutanan nasional yang berpihak pada perlindungan lingkungan hidup, penghormatan hak-hak masyarakat, serta komitmen Indonesia terhadap agenda perubahan iklim global. Melalui kolaborasi lintas sektor, FGD ini diharapkan menjadi ruang dialog yang konstruktif dalam merumuskan kebijakan kehutanan yang tidak hanya legal secara normatif, tetapi juga adil secara sosial dan ekologis, serta berkelanjutan bagi generasi mendatang. Dedy  Haryadi

Advertisement

  • Universitas Pancasila Gelar FGD Soroti Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan

Berita Lainnya

- Advertisement -

Ads x